foto : istimewa

Jember, International Woman's Day adalah hari peringatan untuk perjuangan perempuan seluruh dunia atas penghapusan ketidakadilan yang telah disepakati pada setiap tanggal 8 maret.

Momen Hari Perempuan Internasional ini untuk membangkitkan ingatan bahwa perjuangan untuk membangun keadilan bagi perempuan belum selesai. Permasalahan penindasan masih terus berlanjut. Minimnya kesadaran perempuan terhadap hak-hak yang seharusnya didapat, dijadikan sebuah instrumen untuk terus mendorong budaya patriarki di Indonesia.

BACA JUGA: Jembatan Jompo Ambruk Jadi Wisata Malam

Budaya patriarki yang ada, terus menjadi batu hambatan bagi perempuan untuk mengaktualisasikan diri. Bagaimana tidak? Masih sering kita temukan sentimen-sentimen negatif di masyarakat bahkan dalam keluarga, yang menjadikan perempuan sebagai kasta kedua, atau bisa dikatakan sebagai suatu hal yang berbeda dari sosok manusia.

Tak hanya itu, praktik ini terlihat pada aktivitas domestik, ekonomi, politik, dan budaya. Soetomo, masalah sosial adalah tentang kondisi yang tidak diingingkan disebabkan oleh besar dari masyarakat masyarakat --- yaitu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ), pelecehan seksual, angka pernikahan dini, dan stigma tentang perceraian.

BACA JUGA: UNEJ Siapkan 7 Dokter dan 20 Mahasiswa Kedokteran Cegah Corona di Jember

Belum lagi, situasi ini didukung dengan berbagai ancaman dari aturan maupun kebijakan pemerintah yang tidak responsif gender, salah satunya RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), yakni RUU Ketahanan Keluarga dan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Dalam kedua RUU tersebut, disebutkan berbagai poin yang tidak sama sekali menguntungkan bagi perempuan. Mulai dari dikembalikannya lagi fungsi domestik sampai ancaman terhadap hak kerja perempuan. Sungguh kompleks ketimpangan yang ada. Lantas demikian, masih belum ada etikat baik oleh pemegang kebijakan untuk segera mengesahkan RUU PKS.

Baca Juga: Ketahuan istri Main Dengan Pria Lain, Suami Robohkan Rumah Senilai 500 Juta

Demikian wajah budaya kita hari ini, yang masih menyudutkan keberadaan perempuan meskipun menurut mereka, ruang-ruang aplikatif telah dibuka secara bebas. Pemerintah perlu sadar untuk berbenah sistem, regulasi, dan kebijakan dan tidak menjadikan perempuan (sekali lagi) sebagai korban. Lanjut, seluruh elemen masyarakat turut sadar, mampu dan mau membuka mata atas konstruk budaya yang merugikan perempuan. Meluruskan pemberitaan media Indonesia untuk tidak selalu membuat framing negatif dan stereotype terhadap perempuan, dan lebih mengedepankan terhadap bentuk penghargaan atas hidup perempuan.

Dengan demikian, cita-cita berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat diciptakan dan terimplementasi secara baik.


Penulis     : Nabila
Publisher : Bowo